Minggu, Februari 14, 2010

Minim Konselor, Picu Malapraktik


Keminiman jumlah konselor di sekolah dikhawatirkan mengganggu tumbuh-kembang jiwa anak. Para konselor harus menangani banyak siswa besar.

Padahal, setiap siswa mempunyai karakter masing-masing. Bahkan tak sedikit guru bidang studi disampiri tugas sebagai guru bimbingan konseling (BK) karena keterbatasan konselor. Akibatnya, justru terjadi malpraktik pada siswa.
”Menjadi guru BK atau konselor harus memiliki lisensi dan bekal yang cukup. Karena, mereka berbeda dari guru atau psikolog. Kualifikasi konselor sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008.

Peraturan itu mengatur kualifikasi akademis dan kompetensi mereka yang harus diterjemahkan dalam kurikulum saat menempuh studi S1 BK,” kata Ketua Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konselor Indonesia (Abkin) Prof Dr Mungin Eddy Wibowo MPd.

Dia menyatakan meski telah menempuh studi S1 BK, mereka harus mengikuti pendidikan profesi untuk memperoleh lisensi atau sertifikasi sebagai profesi konselor. Dia mengemukakan hal itu di sela-sela jadi pembicara seminar
”Peningkatan Profesionalitas Konselor dalam Upaya Mengembangkan Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas” di FKIP UNS.

Membina dan Membantu

Mantan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) itu mengatakan, malpraktik bisa terjadi karena personel yang ditempatkan sebagai konselor di sekolah tak memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling. ”Guru BK bukan guru yang setiap pagi berdiri di gerbang untuk merazia baju atau sepatu siswa. Bukan hanya menghukum, melainkan membina dan membantu memberi solusi atas masalah siswa,” katanya.

Dia mengemukakan saat ini rasio guru BK dan siswa masih 1:150. Padahal, idealnya rasio tersebut 1:50. Namun memang angka itu tak mudah dipenuhi karena kemampuan lembaga pendidikan tenaga kependidikan memiliki keterbatasan mencetak lulusan. Sebagai langkah awal, Abkin memetakan kecukupan konselor serta kebutuhan di seluruh Indonesia. ”Nanti kami tertibkan agar seluruh guru BK benar-benar sesuai dengan kompetensinya.”

Dekan FKIP UNS Prof Dr M Furqon Hidayatullah MPd mengatakan, pendidikan profesi guru (PPG) itu harus ditempuh selama satu tahun. Saat ini, seluruh persiapan kurikulum dan buku panduan sedang disusun.

”Kami bertanggung jawab menata lulusan yang tidak asal-asalan. Program studi BK merupakan favorit kedua, setelah PGSD, pada penerimaan mahasiswa tahun 2009. Padahal, program itu baru dibuka kembali dua tahun lalu,” katanya.